Monday, March 17, 2014

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Asal kata preman berasal dari bahasa Inggris “freeman” yang artinya manusia bebas. Di beberapa kamus bahasa Indonesia akan kita temukan paling tidak 3 arti kata preman, yaitu: 1. swasta, partikelir, non pemerintah, bukan tentara, sipil. 2. sebutan orang jahat (yang suka memeras dan melakukan kejahatan) 3. kuli yang bekerja menggarap sawah. Namun khusus kata premanisme, dipakai untuk arti kata yang kedua, yaitu sifat-sifat seperti orang yang suka memeras dan melakukan kejahatan.
Di Indonesia, upaya untuk memberantas dan memerangi premanisme sebetulnya bukan hal yang terlalu baru. Selama ini, sudah berkali-kali polisi menggelar berbagai operasi pemberantasan preman, namun hasilnya seringkali tidak efektif. Saat operasi diadakan, memang premanisme seolah-olah tiarap. Tetapi, setelah stamina aparat mulai berkurang, biasanya, pelan-pelan aksi premanisme kembali muncul, bahkan dengan skala yang makin mencemaskan. Ada kesan kuat, ketika ulah preman itu makin ditekan, ternyata dalam perkembangannya, ulah mereka justru makin resistan dan taktis menyiasati tekanan. Sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang terkategori marginal, para preman yang banyak beroperasi di berbagai kota besar di Indonesia tidak lagi sekadar melakukan aksi kejahatan kelas teri seperti memaksa pemilik kendaraan bermotor membayar tiket parkir dua kali lipat dari tarif atau memalak para pemilik toko untuk menyediakan uang keamanan. Tetapi, lebih dari itu, yang mereka lakukan kini tak jarang adalah mengembangkan aksi dalam pola yang lebih terorganisasi -ikut dalam kegiatan dan kepentingan politik praktis- sehingga posisi tawar (bargaining position) mereka menjadi lebih kuat. Bahkan, terkadang mereka juga cukup dekat dengan pusat-pusat kekuasaan tertentu. Habitat yang menjadi area subur bagi perkembangan aksi premanisme kini tidak lagi hanya di dunia prostitusi, perjudian, dan dunia kriminal lain. Sebagian yang lain bahkan diduga telah berhasil menanamkan uang hasil palakannya di berbagai usaha yang sifatnya legal.
Di dunia premanisme, justru dengan kedigdayaan, kekenyalan, dan daya tahan, mereka tetap survive dan mampu menyiasati tekanan sekeras apa pun dari polisi karena di antara mereka berkembang apa yang disebut Hans-Dieter Evers (2002) sebagai kohesi sosial dan proses pembelajaran. Seorang preman yang berhasil ditangkap aparat dan kemudian dijebloskan ke penjara karena terbukti melanggar hukum niscaya tidak kapok dan setelah bebas akan meninggalkan dunia premanisme. Dalam kenyataan, yang sering terjadi adalah penjara justru menjadi sekolah baru yang makin mematangkan semangat mereka untuk lebih masuk dalam pusaran dunia premanisme, mengembangkan jaringan yang lebih kuat, dan akhirnya membangun kerajaan baru di dunia kriminal yang lebih solid.
Dilihat dari tempat dan kejadian, bentuk premanisme terbagi atas; Premanisme Terbuka; Bentuk premanisme ini berupa pemerasan langsung dengan meminta sejumlah uang atau materi dengan ancaman, atau melakukan pengrusakan serta penganiayaan terhadap orang maupun kelompok lain. Biasanya pelakunya orang orang yang nekad dan agak ekstrim. Premanisme Terselubung; Bentuk premanisme ini tidak terlihat langsung, proses dan reaksinya hanya dirasakan oleh korban yang dituntut untuk mengeluarkan biaya diluar aturan. Bentuk premanisme ini biasanya di lingkungan birokrasi yang tumbuh akibat kebutuhan seseorang yang dimanfaatkan oleh oknum dari dalam atau dari luar yang tidak bertanggung jawab. Yang lebih fatal lagi aturan main ini kadang dijadikan sebuah budaya. Bentuk premanisme ini yang kini sangat membudaya disekitar kita dengan mengatasnamakan kemudahan dan kepuasan pelayanan.
Yang secara tidak sadar kita telah terkondisikan akan situasi tersebut. Secara tidak sadar pula hal itu telah memupuk pertumbuhan prilaku premanisme terselubung yang bisa saja dituruti oleh prilaku tersebut akan diulangi oleh penerusnya. Bahkan kemungkinan besar akan ditiru oleh pihak lain dari kegiatan yang sejenis.
B.     Rumusan Masalah
a.       Apa itu premanisme ?
b.      Bagaimanakah Jenis-jenis premanisme ?
c.       Apa sajakahyang menjadi Ruang lingkup kejahatan dari premanisme ?
d.      Apa sajakah yang menjadi factor-faktor munculnya premanisme ?
e.       Bagaimanakah dampak yang diakibatkan dari premanisme ?
f.       Bagaimanakah Solusi dalam mengatasi masalah social premanisme ?
g.      Apa hubungan premanisme dan penyimpangan social ?

C.    Tujuan Pembahasan
a.       Untuk mengetahui pengertian dari premanisme
b.      Untuk mengetahui jenis-jenis premanisme.
c.       Untuk mengetahui ruang lingkup kejahatan premanisme.
d.      Untuk mengetahui factor-faktor apa sajakah yang menimbulkan premanisme.
e.       Untuk mengetahui dampak dari premanisme.
f.       Untuk mengathui solusi dalam mengatasi masalah social premanisme
g.      Untuk mengetahui hubungan premanisme dan penyimpangan social.

D.    Kerangka Pemikiran
Melihat tiga teori yang ada dalam dunia sosiologis seperti teori Structural fungsional, conflict dan interaksionalism simbolik, maka penulis cenderung untuk memilih teori struktural-fungsional, terutama yang berasal dari Merton sebagai teori yang dapat menjelaskan mengenai tindakan penyimpangan individu khusunya dengan adanya fenomena premanisme . Secara khusus Merton memang membahas mengenai deviant yang merupakan bentuk lanjut dari adanya disintegrasi seorang individu dalam masyarakat.
Bagi Merton, munculnya tindakan menyimpang yang dilakukan oleh individu adalah ketidakmampuan individu tersebut untuk bertindak sesuai dengan nilai normatif yang ada di masyarakat. Secara umum dapat dikatakan bahwa perilaku menyimpang adalah bentuk anomie dalam masyarakat. Anomie terjadi dalam masyarakat ketika ada keterputusan antara hubungan norma kultural dan tujuan dengan kapasitas terstruktur secara sosial dari anggota kelompok untuk bertindak sesuai dengan norma kultural .Secara umum Merton menghubungkan antara kultur, struktur dan anomie. Kultur didefinikasikan sebagai seperangkan nilai normatif yang terorganisir yang menentukan perilaku bersama anggota masyarakat. Dalam hal ini, kultur menjadi buku panduan yang digunakan oleh semua anggota masyarakat untuk berperilaku.[1]
Struktur didefinisikan sebagai seperangkat hubungan sosial yang terorganisir yang melibatkan seluruh anggota masyarakat untuk terlibat di dalamnya. Sedangkan anomie didefinisikan sebagai sebuah keterputusan hubungan antara struktur dan kultur yang terjadi jika ada suatu keretakan atau terputusnya hubungan antara norma kultural dan tujuan-tujuan dengan kapasitas yang terstruktur secara sosial dari anggota dalam kelompok masyarakat untuk bertindak sesuai dengan nilai kultural tersebut (Merton, 1968: 216).
Perilaku menyimpang dalam hal ini dilihat sebagai ketidakmampuan seorang individu untuk bertindak sesuai dengan norma, tujuan dan cara-cara yang diperbolehkan dalam masyarakat. Dalam hal ini, integrasi yang dilakukan oleh individu tersebut tidak lah bersifat menyeluruh. Tentu saja hal ini tidak berarti bahwa setiap orang dapat berintegrasi sepenuhnya. Dapat dikatakan bahwa tidak ada masyarakat yang terintegrasi secara penuh, di mana Merton melihat bahwa integrasi yang terjadi di masyarakat tidak lah sama baik secara kualitas maupun kuantitas. Dalam analisa fungsionalnya, Merton melihat bahwa motif-motif dalam integrasi tidak selalu membawa motif yang diinginkan (intended motif), namun juga motif-motif yang tidak diinginkan (unintended motif). Adanya fungsi manifes dan laten dalam integrasi berarti bahwa integrasi menyebabkan adanya pihak yang mengalami disintegrasi, atau dalam bahasa yang lebih kasar, integrasi justru memiliki pengaruh besar atas terjadinya disintegrasi.
Pandangan ini tentu saja membawa konsekuensi yang lebih besar: anomie yang terjadi di masyarakat, yang berujung dengan terjadinya penyimpangan, adalah ‘efek samping’ atau motif yang tidak diinginkan (unintended motif) dari integrasi dalam masyarakat. Merton membedakan antara fungsi dan disfungsi. Bagi Merton, fungsi adalah seluruh konsekuensi yang terlihat dan berguna bagi adaptasi atau pengaturan dari sistem yang telah ada,sedangkan disfungsi merupakan konsekuensi yang terlihat yang mengurangi adaptasi atau pengaturan dalam satu sistem (Merton, 1968:105). Selain membedakan antara fungsi dan disfungsi,  [2]
Merton juga membedakan antara fungsi manifes dan fungsi laten. Fungsi manifest didefinisikan sebagai seluruh konsekuensi obkektif yang berpengaruh pada pengaturan atau adaptasi dari suatu sistem yang diinginkan dan diakui oleh seluruh bagian sistem itu, sedangkan fungsi manifest adalah kebalikannya, yakni konsekuensi objektif yang berpengaruh pada penaturan dan adaptasi dari satu sistem yang tidak diinginkan dan tidak akui (Merton, 1968:105)
Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa perilaku menyimpang yang terjadi di kalangan remaja merupakan adanya konflik antara norma-norma yang berlaku di masyarakat dengan cara-cara dan tujuan-tujuan yang dilakukan oleh individu. Oleh karena itu, Merton membagi keadaan ini dalam lima kategori, yaitu:
1.      Conformity atau individu yang terintegrasi penuh dalam masyarakat baik yang tujuan dan cara-caranya benar dalam masyarakat.
2.      Innovation atau individu yang tujuannya benar, namun cara- cara yang dipergunakannya tidak sesuai dengan yang diinginkan dalam masyarakat.
3.      Ritualism atau individu yang salah secara tujuan namun cara-cara yang dipergunakannya dapat dibenarkan.
4.       Retreatism atau individu yang salah secara tujuan dan salah berdasarkan cara-cara yang dipergunakan.
5.      Rebellion atau individu yang meniadakan tujuan-tujuan dan cara-cara yang diterima dengan menciptakan sistem baru yang menerima tujuan-tujuan dan cara-cara baru.
Dalam hal ini Merton memberikan contoh yang sangat baik dalam melihat perilaku menyimpang dalam masyarakat berupa tindak kriminal. Karena dibesarkan dalam lingkungan Amerika, Merton dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitarnya. Menurut Merton, Amerika memberikan setiap warganya ‘the American Dream’, di mana Amerika memberikan kebebasan setiap warganya untuk memperoleh kesempatan dan kesejahteraan, di mana hal ini menjadi motivasi kultural setiap orang Amerika, yakni untuk mewujudkan cita-citanya.[3]
Merton melihat adanya kesenjangan antara apa yang diinginkan dan diharapkan oleh masyarakat atas anggotanya dengan apa yang sesungguhnya dicapai oleh warga masyarakat. Jika struktur sosial ternyata tidak seimbang dalam memberikan kesempatan bagi setiap warga masyarakat dan mencegah sebagian besar dari mereka untuk mencapai mimpi mereka, maka sebagian dari mereka akan mengambil langkah yang tidak sesuai dengan cara yang diinginkan, yakni dengan melakukan tindakan kriminal untuk mewujudkan ‘mimpi’ tersebut (lihat Merton 1968).
Jadi kesimpulanya prilaku menyimpang atau tindakan kriminalitas premanisme ini  adalah salah satu wujud terjadinya keregangan antara struktur dan kultur yang membuka ruang bagi anomi dalam individu dengan artian fenomena premanisme ini bisa dilihat dalam disfungsinya struktur-kultur yang ada dalam masyarakat yang mengakibatkan terjadinya fungsi laten dalam salah satu unit atau system-sistem sosial  dalam masyarakat baik itu dalam stuktur yang mencakup lembaga-lembaga dan kultur yang mencakup nilai dan aturanya.
 




                                    STRUKTUR
Text Box: ANOMIE
 


                                           X                                                                            

                                    KULTUR







BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Pengertian  Premanisme
Premanisme berasal dari kata bahasa Belanda vrijman yang diartikan orang bebas, merdeka dan kata isme yang berarti aliran. Premanisme adalah sebutan pejoratif yang sering digunakan untuk merujuk kepada kegiatan sekelompok orang yang mendapatkan penghasilannya terutama dari pemerasan kelompok masyarakat lain.
Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke-2 yang diterbitkan Balai Pustaka (1993) memberi arti preman dalam level pertama. Kamus ini menaruh “preman” dalam dua entri: (1) preman dalam arti partikelir, bukan tentara atau sipil, kepunyaan sendiri; dan (2) preman sebagai sebutan kepada orang jahat (penodong, perampok, dan lain-lain). Dalam level kedua, yakni sebagai cara kerja, preman sebetulnya bisa menjadi identitas siapapun. Seseorang atau sekelompok orang bisa diberi label preman ketika ia melakukan kejahatan (politik, ekonomi, sosial) tanpa beban. Di sini, preman merupakan sebuah tendensi tindakan amoral yang dijalani tanpa beban moral. Maka premanisme di sini merupakan tendensi untuk merebut hak orang lain bahkan hak publik sambil mempertontonkan kegagahan yang menakutkan. Istilah preman penekanannya adalah pada perilaku seseorang yang membuat resah, tidak aman dan merugikan lingkungan masyarakat ataupun orang lain .
Istilah preman menurut Ida Bagus Pujaastawa, berasal dari bahasa Belanda vrijman yang berarti orang bebas atau tidak memiliki ikatan pekerjaan dengan pemerintah atau pihak tertentu lainnya. Dalam ranah sipil, freeman (orang bebas) di sini dalam artian orang yang merasa tidak terikat dengan sebuah struktur dan sistem sosial tertentu. Pada ranah militer, freeman (orang bebas) berarti orang yang baru saja selesai melaksanakan tugas dinas (kemiliteran) atau tidak sedang dalam tugas (kemiliteran). Dalam sistem militer ala Barat pengertian freeman ini lebih jelas karena ada pembedaan antara militer dan sipil. Misalnya setiap anggota militer yang keluar dari baraknya otomatis menjadi warga sipil dan mengikuti aturan sipil kecuali dia ada tugas dari kesatuannya dan itupun dia harus menggunakan seragam militer. Sayangnya di Indonesia aturan itu tidak berlaku, anggota militer (TNI) walaupun tidak dalam tugas dan tidak memakai seragam militer tidak mau mengikuti aturan sipil (KUHAP). Misalnya anggota militer yang melakukan perbuatan pidana di luar baraknya (markasnya) tidak dibawa ke pengadilan sipil (pengadilan negeri atau pengadilan tinggi) tapi dibawa ke pengadilan militer.
Dalam perkembangan selanjutnya perilaku premanisme cenderung berkonotasi negatif karena, dianggap rentan terhadap tindakan kekerasan atau kriminal. Namun demikian, keberadaan preman tidak dapat disamakan dengan kelompok pelaku tindak kriminal lainnya seperti pencopet atau penjambret. Preman umumnya diketahui dengan jelas oleh masyarakat yang ada di sekitar wilayah operasinya, seperti pusat-pusat perdagangan (pasar), terminal, jalan raya, dan pusat hiburan.[4]
B.     Jeinis-jenis Premanisme
Menurut Ketua Presidium Indonesia Police Watch, Neta S. Pane , setidaknya ada empat model preman yang ada di Indonesia, yaitu:
a)      Preman yang tidak terorganisasi. Mereka bekerja secara sendiri-sendiri, atau berkelompok, namun hanya bersifat sementara tanpa memiliki ikatan tegas dan jelas.
b)      Preman yang memiliki pimpinan dan mempunyai daerah kekuasaan.
c)      Preman terorganisasi, namun anggotanya yang menyetorkan uang kepada pimpinan.
d)     Preman berkelompok, dengan menggunakan bendera organisasi. Biasanya preman seperti ini, dibayar untuk mengerjakan pekerjaan tertentu. Berbeda dengan preman jenis ketiga, karena preman jenis ini biasanya pimpinan lah yang membayar atau menggaji anak buahnya.
Preman jenis keempat ini, masuk kategori preman berdasi yang wilayah kerjanya menengah ke atas, meliputi area politik, birokrasi, dan bisnis gelap dalam skala kelas atas. Dalam operasinya, tidak sedikit di antara mereka di-backup aparat. Kerjanya rapih, dan sulit tersentuh hukum, karena hukum dapat mereka beli, dengan memperalat para aparatnya.
Pendapat lain berasal dari Azwar Hazan mengatakan, ada empat kategori Preman yang hidup dan berkembang di masyarakat:
a.      Preman tingkat bawah.
Biasanya berpenampilan dekil, bertato dan berambut gondrong. Mereka biasanya melakukan tindakan kriminal ringan misalnya memalak, memeras dan melakukan ancaman kepada korban.
b.      Preman tingkat menengah.
Berpenampilan lebih rapi mempunyai pendidikan yang cukup. Mereka biasanya bekerja dengan suatu organisasi yang rapi dan secara formal organisasi itu legal. Dalam melaksanakan pekerjaannya mereka menggunakan cara-cara preman bahkan lebih “kejam”dari preman tingkat bawah karena mereka merasa “legal”. Misalnya adalah Agency Debt Collector yang disewa oleh lembaga perbankan untuk menagih hutang nasabah yang menunggak pembayaran angsuran maupun hutang, dan perusahaan leasing yang menarik agunan berupa mobil atau motor dengan cara-cara yang tidak manusiawi.
c.       Preman tingkat atas.
Adalah kelompok organisasi yang berlindung di balik parpol atau organisasi massa bahkan berlindung di balik agama tertentu. Mereka “disewa“ untuk membela kepentingan yang menyewa. Mereka sering melakukan tindak kekerasan yang “dilegalkan”.
d.      Preman elit.
Adalah oknum aparat yang menjadi backing perilaku premanisme, mereka biasanya tidak nampak perilakunya karena mereka adalah aktor intelektual perilaku premanisme.[5]

C.    Ruang Lingkup Tindakan criminal premanisme
Dalam melakukan tindakan kriminal biasanya dilakukan di  tempat keramaian di mana banyak orang. Karena semakin banyak kesempatan untuk melakukan tindakan kriminal. Tempat-tempat yang biasanya terdapat preman antara lain sebagai berikut :
1.      Pasar Tradisional
Pasar tradisional merupakan salah satu tempat perekonomian berjalan, karena di dalam pasar terdapat penjual dan pembeli yang melakukan transaksi jual beli. Preman memandang ini sebagai lahan untuk melakukan tindakan kriminalitas karena banyak orang membawa barang berharga. Ataupun melakukan pungutan liar kepada lapak-lapak pedagang.
2.      Terminal Bus
Merupakan tempat yang  banyak orang berdatangan ke terminal bus untuk menuju tempat tujuan, hal ini digunakan  untuk melakukan tindak kriminal pada para penumpang bus maupun para supir bus.
3.      Stasiun Kereta Api dan Gerbong Kereta
Stasiun kereta api merupakan tempat yang sangat rampai pada  jam berangkat dan jam pulang kerja, begitu pula yang terjadi di dalam gerbong kereta api. Setiap gerbong kereta api pasti akan selalu padat bahkan hingga atap kereta api. Diantara ratusan penumpang kereta api pasti terselip beberapa preman yang beraksi di stasiun maupun di dalam gerbong kereta api. Hal ini biasanya terdapat di kereta api ekonomi.
4.      Pelabuhan
Pelabuhan merupakan tempat penyeberangan antar pulau. Disini terdapat manusia, bus, dan truk yang akan menyeberang. Hal ini dilirik untuk melakukan tindakan kriminal, biasanya melakukan tindak krimanal dengan cara pembiusan atau hipnotis kepada penumpang kapal, dan melakukan pungutan liat kepada bus dan truk yang akan memasuki pelabuhan.
5.      Jalan Raya
Merupakan tempat umum yang hampir tidak pernah sepi, biasanya pelaku melakukan tindak krimanal pada persimpangan jalan yang tidak ada pengamanan dari polisi, dimana mobil terhenti pada lampu lalu lintas. Biasanya hal ini dilakukan pada malam hari.
Pada saat ini banyak para pelaku melakukan tindakan kriminal secara berkelompok, namun ada juga yang masih melakukan tindakan kriminal secara individu. Hal ini dilakukan untuk mempermudah dalam melakukan tindakan kriminal dan para pelaku terbagi atas wilayah kekuasaan yang telah terbagi dan terorganisasi. Setiap wilayah terdapat seorang pemimpin yang mengkoordinasikan para anak buahnya dalam melakukan tindakan kriminal. Khusus tindakan pungutan liar setiap wilayah wajib menyetorkan hasilnya kepada pimpinannya yang kemudian disetorkan kepada oknum. Hal ini dilakukan agar para pelaku tindak kriminal dapat perlindungan dan wewenang dalam satu wilayah.

D.    Faktor-Faktor Munculnya Premanisme
Ada beberapa faktor penyebab munculnya tindakan anarkis ataupun premanisme di negara ini, antara lain :
1.      faktor mendasar yaitu penerapan ideologi sekulerisme kapitalisme, Sekulerisme memisahkan agama dari pengaturan kehidupan. Dengan sekulerisme faktor keimanan dinihilkan. Hilanglah faktor kontrol diri yang paling kuat. Maka perisai diri untuk tidak berbuat jahat pun menjadi sedemikian tipis bahkan tidak ada.
2.      faktor ekonomi, Sulitnya mencari penghidupan akibat tiadanya lapangan kerja sementara tuntutan biaya hidup sedemikian tinggi akhirnya mendorong sebagai orang terjun dalam dunia premanisme. Akibat sistem ekonomi kapitalisme, kekayaan tidak terdistribusi secara merata dan adil. Kekayaan terkonsentrasi kepada segelintir orang. Bahkan kekayaan negeri ini banyak lari demi kesejahteraan asing. Pemerintah pun akhirnya tidak berdaya menciptakan lapangan kerja yang memadai bagi rakyat karena tidak punya biaya. Di tengah minimnya lapangan kerja, gaya hidup materialisme, hedonisme dan konsumerisme justru didorong segencar-gencarnya.
Di sisi lain, dipertontonkan banyak pegawai negeri, pejabat dan politisi mendapatkan harta banyak dan bergaya hidup mewah. Bahkan mereka yang korupsi bisa dengan mudah lolos dari jerat hukum. Kalaupun dihukum, sangat ringan. Semua itu bisa makin mendorong sebagian orang memilih menjadi preman sebagai jalan mudah mendapatkan harta.
3.      karena penegakan hukum yang lemah,Aparat tidak bertindak tegas. Aneh jika pergerakan dan eksistensi kelompok preman yang begitu terasa dan kasat mata tidak diketahui oleh aparat. Ada anggapan, keberadaan preman justru dipelihara oleh (oknum) aparat. Kesan melindungi dan melakukan pembiaran itu terlihat ketika polisi baru bisa bertindak setelah terjadi aksi kekerasan yang meresahkan banyak orang. Padahal, polisi sudah mencium indikasi bakal ada kekerasan itu sejak awal. Kesan itu makin kuat dilihat dari penanganan terhadap kelompok preman yang minimalis bahkan terhadap kelompok preman yang sudah ditangkap sekalipun. Sering terdengar para preman itu apalagi gembongnya, dengan mudah lolos begitu saja.
4.      sistem hukum dinegri ini yang tidak bisa memberikan efek jera bagi pelaku tindakan premanisme ataupun kejahatan. Hukuman yang dijatuhkan terhadap preman atau yang melakukan tindakan kejahatan yang terlibat bentrokan bahkan pembunuhan begitu ringan. Hukum dinegri sangat terlihat bisa diperjual belikan, sehingga para preman yang di ajukan ke pengadilan bisa lolos dari jerat hukuman. Jika pun mereka dijatuhi hukuman dan penjara, tapi nyatanya mereka masih bisa mengendalikan bisnis premannya. Didalam penjara mereka mendapat kenyamanan tertentu bahkan bisa mendapatkan sejumlah anak buah baru.
Dari situ lah sudah dapat terlihat bahwa sebab merajalelanya premanisme bukan lagi bersifat individu melainkan sistemik. Sistem yang ada justru menjadi faktor utama.
E.     Dampak Tindakan Premanisme
Tindakan kejahatan oleh premanisme tersebut menimbulkan dampak  yang meresahakan masyarakat dan lingkungan sekitar, diantaranya:
a.       Meningkatnya kasus kriminalitas.
b.      Mengganggu stabilitas keamanan masyarakat. Premanisme memang sudah merajalela  di berbagai daerah, sehingga munculnya kelompok- kelompok kriminal atau geng dapat menimbulkan rasa kurang aman dan meresahkan bagi masyarakat karena adanya gangguan dan ancaman.
c.       Dapat merugikan banyak pihak. Preman yang biasanya menggunakan kekerasan dan kejahatan dapat merugikan banyak pihak. Contohnya dengan adanya pembunuhan, pasti keluarga yang ditinggalkan korban akan merasa sedih dan kehilangan atau melakukan kerusakan pada fasilitas umum jadi banyak pihak yang merasa dirugikan. Bahkan bagi masyarakat yang merasa trauma karena ulah kejahatan preman akan selalu merasa resah .
Fenomena yang seperti ini perlu diatasi dengan melibatkan pihak yang berwajib agarkeamanan dapat teratasi dari adanya gangguan, ancaman, dan tindak kejahatan, disamping itu kita sebagai masyarakat harus saling menjaga keamanan lingkungan agar terhindar dari gejala premanisme.[6]
F.     Premanisme dan Penyimpangan Sosial
Seseorang melakukan tindakan-tindakan premanisme selain dari factor pribadi juga karena adanya factor social, factor social inilah yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan pelanggaran hukum maupun terhadap aturan yang ada, factor social merupakan norma-norma maupun hukum yang berlaku dimasyarakat, namun seringkali norma-norma tersebut diabaikan atau dilanggar, sehingga penyimpangan yang terjadi dalam norma-norma dan hukum di masyarakat ini disebut Penyimpangan Sosial. Menurut James Vander Zanden, 1979; Perilaku menyimpang atau Deviance Behaviour adalah Perilkau yang dipandang sejumlah orang sebagai perbuatan tercela dan diluar batas toleransi, Secara sosiologis, perilaku menyimpang dapat diartikan sebagai setiap perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma dan hukum yang ada di dalam masyarakat.
Perilaku seperti ini terjadi karena seseorang mengabaikan norma atau tidak mematuhi patokan baku dalam masyarakat sehingga sering dikaitkan dengan istilah-istilah negatif. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, ‘menyimpang’ bermakna tidak menurut jalan yang betul, menyalahi kebiasaan, aturan, hukum, dan sebagainya serta menyeleweng atau sesat. Menurut Lemert (1951); Penyimpangan dibagi menjadi dua bentuk;
1.      Penyimpangan Primer (Primary Deviation) yaitu Penyimpangan yang dilakukan seseorang akan tetapi si pelaku masih dapat diterima masyarakat. Ciri penyimpangan ini bersifat temporer atau sementara,tidak dilakukan secara berulang-ulang dan masih dapat ditolerir oleh masyarat seperti: menunggak iuran listrik, telepon, BTN, melanggar rambu-rambu lalu lintas, ngebut di jalanan dsb.
2.      Penyimpangan Sekunder (secondary deviation) yaitu Penyimpangan yang berupa perbuatan yang dilakukan seseorang yang secara umum dikenal sebagai perilaku menyimpang. Pelaku didominasi oleh tindakan menyimpang tersebut, karena merupakan tindakan pengulangan dari penyimpangan sebelumnya. Penyimpangan ini tidak bisa ditolerir oleh masyarakat, seperti : preman, pemabuk, pengguna obat-obatan terlarang, pemerkosa, pelacuran, pembunuh, perampok, penjudi.
Adapun factor-factor yang menyebabkan perilaku menyimpang menurut Casare Lombroso adalah;
a.       Biologis
Misalnya orang yang lahir sebagai pencopet atau pembangkang. Ia membuat penjelasan mengenai “si penjahat yang sejak lahir”. Berdasarkan ciri-ciri tertentu orang bisa diidentifikasi menjadi penjahat atau tidak. Ciri-ciri fisik tersebut antara lain: bentuk muka, kedua alis yang menyambung menjadi satu dan sebagainya.
b.      Psikologis
Menjelaskan sebab terjadinya penyimpangan ada kaitannya dengan kepribadian retak atau kepribadian yang memiliki kecenderungan untuk melakukan penyimpangan. Dapat juga karena pengalaman traumatis yang dialami seseorang.
c.       Sosiologis
Menjelaskan sebab terjadinya perilaku menyimpang ada kaitannya dengan sosialisasi yang kurang tepat. Individu tidak dapat menyerap norma-norma kultural budayanya atau individu yang menyimpang harus belajar bagaimana melakukan penyimpangan.
Ada dua Faktor Penyebab timbunya Penyimpangan yaitu factor dari dalam (Intrinsik) dan factor dari luar (Ekstrinsik);
1.      Faktor dari dalam (intrinsik)
Setiap orang mempunyai intelegensi yang berbeda-beda. Perbedaan intelegensi ini berpengaruh dalam daya serap terhadap norma-norma dan nilai-nilai sosial. Orang yang mempunyai intelegensi tinggi umumnya tidak kesulitan dalam bergaul, belajar, dan berinteraksi di masyarakat. Sebaliknya orang yang intelegensinya di bawah normal akan mengalami berbagai kesulitan dalam belajar  maupun menyesuaikan diri di masyarakat. Namun hal ini seringkali menjadi dilematis, seseorang yang memiliki tingkat intelegensi yang tinggi dapat melakukan suatu kejahatan yang lebih besar akibatnya bagi masyarakat, karena tingginya tingkat intelegensi tidak diimbangi dengan moral yang baik pula, sehingga menimbulkan penyimpangan.



2.      Faktor dari luar (ekstrinsik)

a)      Peran keluarga
Keluarga sebagai unit terkecil dalam kehidupan sosial sangat besar peranannya dalam membentuk pertahanan seseorang terhadap serangan penyakit sosial sejak dini. Dalam sebuah keluarga yang selalu menerapkan kejujuran dan kedisiplinan menjadi panutan bagi seseorang dalam berperilaku dalam lingkungannya maupun tempatnya bekerja.
b)      Peran masyarakat
Pola kehidupan masyarakat tertentu kadang tanpa disadari oleh para warganya ternyata menyimpang dari nilai dan norma sosial yang berlaku di masyarakat umum. Itulah yang disebut sebagai subkebudayaan menyimpang. Misalnya masyarakat yang sebagian besar warganya hidup dengan menggunakan caa-cara premanisme, maka anak-anak di dalamnya akan menganggap premanisme sebagai bagian dari kehidupannya. Demikian pula seseorang yang tumbuh dan berkembang di lingkungan masyarakat penjudi atau peminum minuman keras, maka akan membentuk sikap dan pola perilaku menyimpang.
c)      Pergaulan
Pola tingkah laku seseorang sering kali dipengaruhi oleh pergaulan, Apabila teman bergaulnya baik, dia akan menerima konsep-konsep norma yang bersifat positif. Akan tetapi jika teman bergaulnya kurang baik, sering kali akan mengikuti konsep-konsep yang bersifat negatif. Misalnya di suatu instansi sebagian besar pegawainya sudah terbiasa memeras, tidak tepat waktu dan menerima uang suap sebagai uang pelicin untuk mengurus surat atau akte tertentu, maka orang yang bekerja ditempat itu akan merasa bahwa memeras dan menerima suap adalah suatu kewajaran, demikian pula halnya dengan lingkungan preman, mereka berpikir bahwa perbuatannya menunjukan eksistensi dirinya, mengambil paksa milik orang lain, mempunyai wilayah kekuasaan yang diakui, dsb.
d)     Media massa
Berbagai tayangan di televisi tentang gaya hidup bermewah-mewahan berfoya-foya, menggunakan narkoba, seks bebas, dsb, dapat mempengaruhi perkembangan perilaku individu.
Dengan demikian dalam penanganan terhadap premanisme juga membutuhkan peran serta dari stake holder yang terlibat dalam hal ini Pemerintah sebagai penentu kebijakan khususnya dalam mengeliminir hal-hal yang menjadi embrio serta pendorong kelahiran aksi premanisme seperti; Kemiskinan, kelangkaan kesempatan kerja, marginalisasi, dan kekuasaan yang cenderung korup adalah habitat yang subur bagi perkembangan premanisme di tanah air. Karena itu, agar dari waktu ke waktu tidak lahir preman-preman baru yang makin canggih, pemerintah wajib mengimbangi langkah polisi dengan aksi dan pendekatan sosial agar hal-hal yang menyuburkan tumbuhnya preman tidak terus berkembang. Ketika orang frustrasi karena tak mampu menghidupi keluarganya serta ketika pemerintah tidak lagi mampu menciptakan lapangan kerja yang memadai dan layak untuk tempat bergantung hidup kaum migran yang mengadu nasib mencari pekerjaan di kota, jangan kaget jika di saat yang bersaman lahir sejumlah aktivitas di sektor informal yang terkategori ilegal. 
Selain itu perilaku premanisme dan kejahatan jalanan merupakan problematika sosial yang berawal dari sikap mental masyarakat yang kurang siap menerima pekerjaan yang dianggap kurang bergengsi. dan penanganannya tidak cukup melalui proses hukum, tetapi harus melibatkan institusi yang berfungsi dalam pembinaan mental.Masyarakat juga tidak dapat mengambinghitamkan tingkat kesejahteraan atau peluang kerja yang dianggap sulit didapatkan sebagai faktor penyebab munculnya aksi premanisme dan kejahatan jalanan. Sebenarnya peluang kerja itu cukup banyak, tetapi kurang diminati karena dianggap kurang terhormat. Sehingga dalam hal iniPolri harus melibatkan institusi yang berwenang dalam pembinaan mental, seperti Dinas sosial, agar pelaku aksi premanisme dan kejahatan jalanan itu bersedia melakukan pekerjaan apa pun asalkan halal. Dinas sosial juga perlu menggandeng pihak lain untuk menyalurkan minat dan bakat yang dimiliki pelaku aksi premanisme dan kejahatan jalanan tersebut. Karena perilaku premanisme dan kejahatan jalanan dapat dianggap sebagai penyakit masyarakat yang berasal dari belum tertatanya pola pikir dan kesiapan mental dalam menghadapi problematika hidup.[7]




BAB III
STUDI KASUS
A.    Kasus Premanisme di Bandung
BANDUNG, KOMPAS. com - Sebanyak 41 orang preman terjaring dalam razia yang digelar  jajaran Polrestabes Bandung, Senin (21/10/2013). Razia tersebut berlangsung sejak pagi hingga siang di beberapa lokasi seperti terminal Antar Kota Antar Provinsi Cicaheum, Terminal Leuwipanjang, Pasar Kosambi serta Pasar Baru. 
"Sampai saat ini yang telah ada 41 preman," kata Kapala Baguian Operasi Polrestabes Bandung, AKBP Diki Budiman saat ditemui di markas Polrestabes Bandung, Senin (21/10/2013). 
Setelah dijaring, kata Dicky, preman-preman tersebut akan didata secara rinci untuk dipilah-pilah antara preman yang kerap melakukan tindak kriminal dan yang tidak. Preman yang terindikasi melakukan tindakan pidana, akan diproses sesuai kesalahannya. "Kita lihat hasil evaluasi besok untuk memastikan apakah target operasi kita sudah terjaring atau belum. Kalau belum, nanti kita gelar operasi lagi," imbuhnya. 
Sementara itu, pihak kepolisian juga sudah mendata sejumlah daerah yang diduga menjadi titik rawan aksi kriminal di Kota Bandung yang kerap menjadi tempat operasi para preman. "Beberapa titik rawan preman yang ada di Kota Bandung di antaranya adalah Terminal Cicaheum, Terminal Leuwipanjang, Pasar Induk Gedebage, dan sepanjang Jalan Soekarno-Hatta," jelasnya. Dicky menjelaskan, ada beberapa modus premanisme yang kerap meresahkan masyarakat. Di antaranya, kata Dicky, menjual airminum kemasan secara paksa hingga memaksa orang untuk naik ke angkot tertentu. 
Tak hanya penumpang angkot, sopir angkot dan pemilik kios juga kerap menjadi korban pemalakan para preman. "Kita imbau kepada masyarakat agar melaporkan ke polisi. Yang jadi masalah, kadang masyarakat enggan untuk melaporkan tindakan premanisme yang dialaminya," bebernya.[8]

B.     Kasus Premanisme di Jakarta

Jakarta - Bentrok antara dua kelompok di Cengkareng Barat terkait pengambil alihan kekuasaan tanah. Kejadian tersebut disebabkan perebutan kekuasaan di lahan tanah PT. Sabar Ganda yang beralamat di Jl Cengkareng Kamal, Rt 02/07, Cengkareng Barat, Jakarta Barat. 
Menurut Kabid Humas Polda Metro jaya, Kombes Rikwanto kejadian bermula ketika sekitar 100 orang kelompok John Kei mendatangi PT Sabar Ganda, Rabu (29/8). Pada saat itu PT Sabar Ganda tengah dijaga oleh 10 orang dari kelompok Hercules.
"Pada saat itu kelompok Hercules yang keluar lokasi dan terjadi tawuran antara kedua belah pihak, namun hal tersebut langsung dihalau anggota Polsek Cengkareng. Kelompok John Kei berhasil menguasai lokasi sementara kelompok Hercules yang terusir menghimpun kekuatan dari luar pagar," ujar Rikwanto dalam pesan singkat, Rabu (29/8/2012).[9]



C.    Solusi Masalah Penyimpangan Sosial Premanisme dalam Teori Struktural Fungsional Robert K. Merton.

Seseorang melakukan tindakan-tindakan premanisme selain dari factor pribadi juga karena adanya factor social, factor social inilah yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan pelanggaran hukum maupun terhadap aturan yang ada, factor social merupakan norma-norma maupun hukum yang berlaku dimasyarakat, namun seringkali norma-norma tersebut diabaikan atau dilanggar, sehingga penyimpangan yang terjadi dalam norma-norma dan hukum di masyarakat ini disebut Penyimpangan Sosial.Perilaku menyimpang atau Deviance Behaviour adalah Perilku yang dipandang sejumlah orang sebagai perbuatan tercela dan diluar batas toleransi, Secara sosiologis, perilaku menyimpang dapat diartikan sebagai setiap perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma dan hukum yang ada di dalam masyarakat.
Tokoh sosiologi modern aliran fungsional structural seperti Robert K.Merton dalam teori structural fungsionalnya yang banyak membahas tentang tindakan penyimpangan individu atau dalam teorinya disebut juga sebagai anomie. salah satu sumbangan merton yang paling terkenal terhadap struktural fungsional dan terhadap sosiologi adalah analisisnya mengenai hubungan antara kultur, struktur, dan anomi. Kultur adalah seperangkat nilai normatif yang ter organisir, struktur sosial adalah seperangkat hubungan sosial yang ter organisir, sementara anomie ( keadaan yang kacau, tanpa peraturan) ,adalah konsekuensi atau titk tengah dari kultur dan struktur apabila keduanya terputus.

Bagi Merton, munculnya prilaku menyimpang yang dilakukan oleh individu adalah ketidakmampuan individu tersebut untuk bertindak sesuai dengan nilai normatif yang ada di masyarakat. Secara umum dapat dikatakan bahwa perilaku menyimpang adalah bentuk anomie dalam masyarakat. Anomie terjadi dalam masyarakat ketika ada keterputusan antara hubungan norma kultural dan tujuan dengan kapasitas terstruktur secara sosial dari anggota kelompok untuk bertindak sesuai dengan norma kultural (lihat Ritzer dan Goodman 2007).
Secara umum Merton menghubungkan antara kultur, struktur dan anomie. Merton juga membedakan antara fungsi manifes dan fungsi laten. Fungsi manifest didefinisikan sebagai seluruh konsekuensi obkektif yang berpengaruh pada pengaturan atau adaptasi dari suatu sistem yang diinginkan dan diakui oleh seluruh bagian sistem itu, sedangkan fungsi manifest adalah kebalikannya, yakni konsekuensi objektif yang berpengaruh pada penaturan dan adaptasi dari satu sistem yang tidak diinginkan dan tidak akui (Merton, 1968:105) Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa perilaku menyimpang yang terjadi di di masyarakat khusunya fenomen premanisme merupakan adanya keregangan antara norma-norma yang berlaku di masyarakat dengan cara-cara dan tujuan-tujuan yang dilakukan oleh individu.
Analisis solusi dalam teori tersebut yang ditawarkan merton dalam meminimalisir atau membendung terjadinya tidakan menyimpang kriminalitas individu dengan cara memperkuat atau menjaga (latency) fungsi-fungsi structural secara manifest dari structural terkecil hingga terbesar seperti dari fungsi keluarga sampai pemerintahan harus menjadi sebuah system yang berfungsi control social untuk mencegah terjadinya anomie.
Walaupun memang terjadi sebuah Anomi dalam masyarakat system kultur dan struktur harus lah segara menjadi control social bagi para anggotanya atau masyarakat demi membenarkan kembali prilaku menyimpang masyarakat agar tetap dalam control sebuah struktur-kultur.
Struktur yang dimaksud bisa berupa lembaga-lembaga social masyarakat seperti keluarga,pemerintahan desa bahkan kantor polisi pun harus menjadi control bagi individu yang menyimpang atau premanisme tersebut ,dimana struktur struktur social haruslah berfungsi secara manifest untuk meminimalisir prilaku penyimpangan masyarakat denagn didikan kultur di dalamya.
Selain struktur pemeliharaan kultur atau nilai normative juga menjadi sebuah solusi yang ditawarkan merton dimana kultur menjadi pengikat atau bahkan fanismen bagi individu yang melakukan tindakan penyimpangan dimasyarakat seperti kasus fenomena premanisme norma-norma social maupun hukum adalah sebuah solusi untuk meminimalisir atau menimbulkan efek jera terhadap anomi tersebut.
Setidaknya ada beberapa contoh struktur-kultur dalam kehidupan masyarakat yang bisa menjadi solusi masalah social premanisme ini seperti :
1.      Mengenakan sanksi hukum yang tegas dan adil kepada para pelaku kriminalitas tanpa pandang bulu atau derajat. Hal ini akan sangat ampuh untuk memberikan efek jera kepada para pelaku agar tidak mengulangi kembali tindakannya
2.      Mengaktifkan peran serta orang tua dan lembaga pendidikan dalam mendidik anak. Dikarenakan hal ini merupakan dari pencegahan sejak dini untuk mencegah terjadinya tindakan kriminal dan mencegah menjadi pelaku tindakan kriminal.
3.      Selektif terhadap budaya asing yang masuk agar tidak merusak nilai budaya bangsa sendiri. Karena setiap budaya luar belum tentu baik untuk budaya kita, misalnya berbusana mini, berprilaku seperti anak punk, dan lain sebagainya.
4.      Menjaga kelestarian dan kelangsungan nilai norma dalam masyarakat dimulai sejak dini melalui pendidikan multi kultural , seperti sekolah , pengajian dan organisasi masyarakat.
5.      Melakukan pelatihan atau kursus keahlian bagi para pelaku tindak kriminal atau penganguran agar memiliki keterampilan yang dapat dilakukan untuk mencari lapangan pekerjaan atau melakukan wirausaha yang dapat membuka lapangan kerja baru.


BAB V
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Istilah preman menurut Ida Bagus Pujaastawa, berasal dari bahasa Belanda vrijman yang berarti orang bebas atau tidak memiliki ikatan pekerjaan dengan pemerintah atau pihak tertentu lainnya. Dalam ranah sipil, freeman (orang bebas) di sini dalam artian orang yang merasa tidak terikat dengan sebuah struktur dan sistem sosial tertentu. Pada ranah militer, freeman (orang bebas) berarti orang yang baru saja selesai melaksanakan tugas dinas (kemiliteran) atau tidak sedang dalam tugas (kemiliteran). Dalam sistem militer ala Barat pengertian freeman ini lebih jelas karena ada pembedaan antara militer dan sipil. Misalnya setiap anggota militer yang keluar dari baraknya otomatis menjadi warga sipil dan mengikuti aturan sipil kecuali dia ada tugas dari kesatuannya dan itupun dia harus menggunakan seragam militer. Sayangnya di Indonesia aturan itu tidak berlaku, anggota militer (TNI) walaupun tidak dalam tugas dan tidak memakai seragam militer tidak mau mengikuti aturan sipil (KUHAP). Misalnya anggota militer yang melakukan perbuatan pidana di luar baraknya (markasnya) tidak dibawa ke pengadilan sipil (pengadilan negeri atau pengadilan tinggi) tapi dibawa ke pengadilan militer.
Dalam perkembangan selanjutnya perilaku premanisme cenderung berkonotasi negatif karena, dianggap rentan terhadap tindakan kekerasan atau kriminal. Namun demikian, keberadaan preman tidak dapat disamakan dengan kelompok pelaku tindak kriminal lainnya seperti pencopet atau penjambret. Preman umumnya diketahui dengan jelas oleh masyarakat yang ada di sekitar wilayah operasinya, seperti pusat-pusat perdagangan (pasar), terminal, jalan raya, dan pusat hiburan.

B.     Saran

Peran structural dan lembaga-lembaga masyarakat  dalam menangani maslah-masalah Premanisme tidak dapat dipandang hanya seperti lembaga tugas Kepolisian saja, namun yang lebih penting disini adalah bagaimana cara mengeliminir embrio-embrio munculnya premanisme ini, meskipun banyak contoh di Negara-negara maju yang tingkat kesejahteraannya tinggi juga masih ada kelompok-kelompok premanisme ini bahkan semakin kuat, hal ini tidak lepas dari penyimpangan social, pengaruh globalisasi dan budaya Hedonisme, sehingga upaya-upaya Polri dalam menangani premanisme ini dengan melakukan operasi-operasi kepolisian terpadu bersama instansi-instansi terkait dapat dipilih sebagai salah satu jalan alternative dalam menekan  premanisme, sehingga tidak hanya sekedar melakukan operasi dan kemudian dilepas lagi ditengah-tengah masyarakat, melainkan perlu adanya pembinaan mental, spiritual oleh lembaga atau dinas sosial serta dengan menyediakan lapangan pekerjaan agar tidak kembali terjerumus dalam premanisme, kecuali dalam hal tindakan premanisme yang mengarah pada tindak pidana korupsi perlu adanya tindakan tegas dan hukuman yang berat bagi para pelaku agar menimbulkan efek jera.
Peran serta anggota masyarakat juga tidak dapat diabaikan dalam membantu mencegah timulnya praktek-praktek premanisme, dengan melakukan control social tentunya, masyarakat dapat berperan aktif sebagai penjaga nilai-nilai norma yang berlaku di masyarakat, agar anggota masyarakatnya tidak terjerumus dalam kegiatan premanisme, selain itu peran keluarga juga mempunyai peran sentral, karena keluarga sebagai satuan terkecil dalam masyarakat, dan dari keluarga nilai-nilai social kemasyarakatan itu dibangun.




Daftar Pustaka
Ahmadi,Abu. Ilmu Sosial Dasar. 2009. Jakarta : Rineka Cipta.
Anwar, Yesmil dan Adang, Kriminologi, 2010.bandung : Refika Aditama.
Atmasasmita, Romli. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, 2006. Bandung :         PT Eresco.
Dirdjosisworo, Soedjono. Penanggulangan Kejahatan, cetakan Ketiga. 1983.         Bandung : Raja Grafindo Persada.
Graham C.Kinloch. Perkembangan dan paradigma utama teori sosiologi.   2009, CV Pustaka Setia : Bandung
Ninik Widiyanti-Yulus Waskita, Kejahatan Dalam Masyarakat dan            Pencegahannya,1987. Jakarta : Bina Aksara.
Sumber Lain :






[1] Ahmadi,Abu. Ilmu Sosial Dasar. 2009. Jakarta : Rineka Cipta. H. 115

[2]Atmasasmita, Romli. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, 2006. Bandung : PT Eresco. H. 88

                [3]  Graham C.Kinloch. Perkembangan dan paradigma utama teori sosiologi. 2009, CV Pustaka Setia : Bandung hlm. 109
                [4]Dirdjosisworo, Soedjono. Penanggulangan Kejahatan, cetakan Ketiga. 1983. Bandung: Raja Grafindo Persada h. 87.

[5]Anwar, Yesmil dan Adang, Kriminologi, 2010.bandung : Refika Aditama. h. 201

                [6]http://www.jualanbuku.com/2008/11/26/memberantas-akar-premanisme-di indoneshttp://id.wikipedia.org/wiki/Premanisme. Di akses pada tanggal 22 februari 2014 jam 14.40

                [7]Ninik Widiyanti-Yulus Waskita, Kejahatan Dalam Masyarakat dan Pencegahannya,1987. Jakarta : Bina Aksara.h. 117
                [8]http://regional.kompas.com/read/2013/10/21/1804100/Preman.Pasar.dan.Terminal.di.Bandung.Terjaring.Razia. Di unggah pada tanggal 24 februari 2014 jam 19.30
                [9]http://news.detik.com/read/2012/08/30/034157/2002703/10/2/kronologi-bentrok-berdarah-kelompok-john-kei-vs-hercules-di-cengkareng. di unggah pada tanggal 26 Februari 2014 jam 20.00

No comments:

Post a Comment