BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Asal
kata preman berasal dari bahasa Inggris “freeman”
yang artinya manusia bebas. Di beberapa kamus bahasa Indonesia akan
kita temukan paling tidak 3 arti kata preman, yaitu: 1. swasta,
partikelir, non pemerintah, bukan tentara, sipil. 2. sebutan orang jahat (yang
suka memeras dan melakukan kejahatan) 3. kuli yang bekerja menggarap sawah.
Namun khusus kata premanisme, dipakai untuk arti kata yang kedua, yaitu
sifat-sifat seperti orang yang suka memeras dan melakukan kejahatan.
Di
Indonesia, upaya untuk memberantas dan memerangi premanisme sebetulnya bukan
hal yang terlalu baru. Selama ini, sudah berkali-kali polisi menggelar berbagai
operasi pemberantasan preman, namun hasilnya seringkali tidak efektif. Saat
operasi diadakan, memang premanisme seolah-olah tiarap. Tetapi, setelah stamina
aparat mulai berkurang, biasanya, pelan-pelan aksi premanisme kembali muncul,
bahkan dengan skala yang makin mencemaskan. Ada kesan kuat, ketika ulah preman
itu makin ditekan, ternyata dalam perkembangannya, ulah mereka justru makin
resistan dan taktis menyiasati tekanan. Sebagai bagian dari kelompok masyarakat
yang terkategori marginal, para preman yang banyak beroperasi di berbagai kota
besar di Indonesia tidak lagi sekadar melakukan aksi kejahatan kelas teri
seperti memaksa pemilik kendaraan bermotor membayar tiket parkir dua kali lipat
dari tarif atau memalak para pemilik toko untuk menyediakan uang keamanan.
Tetapi, lebih dari itu, yang mereka lakukan kini tak jarang adalah
mengembangkan aksi dalam pola yang lebih terorganisasi -ikut dalam kegiatan dan
kepentingan politik praktis- sehingga posisi tawar (bargaining position) mereka
menjadi lebih kuat. Bahkan, terkadang mereka juga cukup dekat dengan
pusat-pusat kekuasaan tertentu. Habitat yang menjadi area subur bagi
perkembangan aksi premanisme kini tidak lagi hanya di dunia prostitusi,
perjudian, dan dunia kriminal lain. Sebagian yang lain bahkan diduga telah
berhasil menanamkan uang hasil palakannya di berbagai usaha yang sifatnya
legal.
Di
dunia premanisme, justru dengan kedigdayaan, kekenyalan, dan daya tahan, mereka
tetap survive dan mampu menyiasati tekanan sekeras apa pun dari polisi karena
di antara mereka berkembang apa yang disebut Hans-Dieter Evers (2002) sebagai
kohesi sosial dan proses pembelajaran. Seorang preman yang berhasil ditangkap
aparat dan kemudian dijebloskan ke penjara karena terbukti melanggar hukum niscaya
tidak kapok dan setelah bebas akan meninggalkan dunia premanisme. Dalam
kenyataan, yang sering terjadi adalah penjara justru menjadi sekolah baru yang
makin mematangkan semangat mereka untuk lebih masuk dalam pusaran dunia
premanisme, mengembangkan jaringan yang lebih kuat, dan akhirnya membangun
kerajaan baru di dunia kriminal yang lebih solid.
Dilihat
dari tempat dan kejadian, bentuk premanisme terbagi atas; Premanisme Terbuka;
Bentuk premanisme ini berupa pemerasan langsung dengan meminta sejumlah uang
atau materi dengan ancaman, atau melakukan pengrusakan serta penganiayaan
terhadap orang maupun kelompok lain. Biasanya pelakunya orang orang yang nekad
dan agak ekstrim. Premanisme Terselubung; Bentuk premanisme ini tidak terlihat
langsung, proses dan reaksinya hanya dirasakan oleh korban yang dituntut untuk
mengeluarkan biaya diluar aturan. Bentuk premanisme ini biasanya di lingkungan
birokrasi yang tumbuh akibat kebutuhan seseorang yang dimanfaatkan oleh oknum
dari dalam atau dari luar yang tidak bertanggung jawab. Yang lebih fatal lagi
aturan main ini kadang dijadikan sebuah budaya. Bentuk premanisme ini yang kini
sangat membudaya disekitar kita dengan mengatasnamakan kemudahan dan kepuasan
pelayanan.
Yang
secara tidak sadar kita telah terkondisikan akan situasi tersebut. Secara tidak
sadar pula hal itu telah memupuk pertumbuhan prilaku premanisme terselubung
yang bisa saja dituruti oleh prilaku tersebut akan diulangi oleh penerusnya.
Bahkan kemungkinan besar akan ditiru oleh pihak lain dari kegiatan yang
sejenis.
B. Rumusan
Masalah
a.
Apa itu premanisme ?
b.
Bagaimanakah Jenis-jenis premanisme ?
c.
Apa sajakahyang menjadi Ruang lingkup kejahatan dari
premanisme ?
d.
Apa sajakah yang menjadi factor-faktor munculnya
premanisme ?
e.
Bagaimanakah dampak yang diakibatkan dari premanisme ?
f.
Bagaimanakah Solusi dalam mengatasi masalah social
premanisme ?
g.
Apa hubungan premanisme dan penyimpangan social ?
C. Tujuan
Pembahasan
a.
Untuk
mengetahui pengertian dari premanisme
b.
Untuk
mengetahui jenis-jenis premanisme.
c.
Untuk
mengetahui ruang lingkup kejahatan premanisme.
d.
Untuk
mengetahui factor-faktor apa sajakah yang menimbulkan premanisme.
e.
Untuk mengetahui dampak dari premanisme.
f.
Untuk mengathui solusi dalam mengatasi masalah social
premanisme
g.
Untuk mengetahui hubungan premanisme dan penyimpangan
social.
D. Kerangka
Pemikiran
Melihat tiga teori yang ada dalam dunia
sosiologis seperti teori Structural
fungsional, conflict dan interaksionalism simbolik, maka penulis cenderung
untuk memilih teori struktural-fungsional, terutama yang berasal dari Merton
sebagai teori yang dapat menjelaskan mengenai tindakan penyimpangan individu
khusunya dengan adanya fenomena premanisme . Secara khusus Merton memang
membahas mengenai deviant yang merupakan bentuk lanjut dari adanya disintegrasi
seorang individu dalam masyarakat.
Bagi Merton, munculnya tindakan menyimpang
yang dilakukan oleh individu adalah ketidakmampuan individu tersebut untuk
bertindak sesuai dengan nilai normatif yang ada di masyarakat. Secara umum
dapat dikatakan bahwa perilaku menyimpang adalah bentuk anomie dalam masyarakat. Anomie
terjadi dalam masyarakat ketika ada keterputusan antara hubungan norma kultural
dan tujuan dengan kapasitas terstruktur secara sosial dari anggota kelompok
untuk bertindak sesuai dengan norma kultural .Secara umum Merton menghubungkan
antara kultur, struktur dan anomie. Kultur didefinikasikan sebagai seperangkan
nilai normatif yang terorganisir yang menentukan perilaku bersama anggota
masyarakat. Dalam hal ini, kultur menjadi buku panduan yang digunakan oleh
semua anggota masyarakat untuk berperilaku.[1]
Struktur didefinisikan sebagai seperangkat
hubungan sosial yang terorganisir yang melibatkan seluruh anggota masyarakat
untuk terlibat di dalamnya. Sedangkan anomie
didefinisikan sebagai sebuah keterputusan hubungan antara struktur dan kultur
yang terjadi jika ada suatu keretakan atau terputusnya hubungan antara norma
kultural dan tujuan-tujuan dengan kapasitas yang terstruktur secara sosial dari
anggota dalam kelompok masyarakat untuk bertindak sesuai dengan nilai kultural
tersebut (Merton, 1968: 216).
Perilaku menyimpang dalam hal ini dilihat
sebagai ketidakmampuan seorang individu untuk bertindak sesuai dengan norma,
tujuan dan cara-cara yang diperbolehkan dalam masyarakat. Dalam hal ini,
integrasi yang dilakukan oleh individu tersebut tidak lah bersifat menyeluruh.
Tentu saja hal ini tidak berarti bahwa setiap orang dapat berintegrasi
sepenuhnya. Dapat dikatakan bahwa tidak ada masyarakat yang terintegrasi secara
penuh, di mana Merton melihat bahwa integrasi yang terjadi di masyarakat tidak
lah sama baik secara kualitas maupun kuantitas. Dalam analisa fungsionalnya,
Merton melihat bahwa motif-motif dalam integrasi tidak selalu membawa motif
yang diinginkan (intended motif),
namun juga motif-motif yang tidak diinginkan (unintended motif). Adanya fungsi manifes dan laten dalam integrasi
berarti bahwa integrasi menyebabkan adanya pihak yang mengalami disintegrasi,
atau dalam bahasa yang lebih kasar, integrasi justru memiliki pengaruh besar
atas terjadinya disintegrasi.
Pandangan ini tentu saja membawa konsekuensi
yang lebih besar: anomie yang terjadi
di masyarakat, yang berujung dengan terjadinya penyimpangan, adalah ‘efek
samping’ atau motif yang tidak diinginkan (unintended
motif) dari integrasi dalam masyarakat. Merton membedakan antara fungsi dan
disfungsi. Bagi Merton, fungsi adalah seluruh konsekuensi yang terlihat dan
berguna bagi adaptasi atau pengaturan dari sistem yang telah ada,sedangkan
disfungsi merupakan konsekuensi yang terlihat yang mengurangi adaptasi atau
pengaturan dalam satu sistem (Merton, 1968:105). Selain membedakan antara
fungsi dan disfungsi, [2]
Merton juga membedakan antara fungsi manifes
dan fungsi laten. Fungsi manifest didefinisikan sebagai seluruh konsekuensi
obkektif yang berpengaruh pada pengaturan atau adaptasi dari suatu sistem yang
diinginkan dan diakui oleh seluruh bagian sistem itu, sedangkan fungsi manifest
adalah kebalikannya, yakni konsekuensi objektif yang berpengaruh pada penaturan
dan adaptasi dari satu sistem yang tidak diinginkan dan tidak akui (Merton,
1968:105)
Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa
perilaku menyimpang yang terjadi di kalangan remaja merupakan adanya konflik
antara norma-norma yang berlaku di masyarakat dengan cara-cara dan
tujuan-tujuan yang dilakukan oleh individu. Oleh karena itu, Merton membagi
keadaan ini dalam lima kategori, yaitu:
1.
Conformity atau individu yang terintegrasi penuh dalam masyarakat
baik yang tujuan dan cara-caranya benar dalam masyarakat.
2.
Innovation atau individu yang tujuannya benar, namun cara- cara
yang dipergunakannya tidak sesuai dengan yang diinginkan dalam masyarakat.
3.
Ritualism atau individu yang salah secara tujuan namun cara-cara
yang dipergunakannya dapat dibenarkan.
4.
Retreatism
atau individu yang salah secara tujuan dan salah berdasarkan cara-cara yang
dipergunakan.
5.
Rebellion atau individu yang meniadakan tujuan-tujuan dan
cara-cara yang diterima dengan menciptakan sistem baru yang menerima
tujuan-tujuan dan cara-cara baru.
Dalam hal ini Merton memberikan contoh yang
sangat baik dalam melihat perilaku menyimpang dalam masyarakat berupa tindak
kriminal. Karena dibesarkan dalam lingkungan Amerika, Merton dipengaruhi oleh
keadaan lingkungan sekitarnya. Menurut Merton, Amerika memberikan setiap
warganya ‘the American Dream’, di mana Amerika memberikan kebebasan setiap
warganya untuk memperoleh kesempatan dan kesejahteraan, di mana hal ini menjadi
motivasi kultural setiap orang Amerika, yakni untuk mewujudkan cita-citanya.[3]
Merton melihat adanya kesenjangan antara apa
yang diinginkan dan diharapkan oleh masyarakat atas anggotanya dengan apa yang
sesungguhnya dicapai oleh warga masyarakat. Jika struktur sosial ternyata tidak
seimbang dalam memberikan kesempatan bagi setiap warga masyarakat dan mencegah
sebagian besar dari mereka untuk mencapai mimpi mereka, maka sebagian dari
mereka akan mengambil langkah yang tidak sesuai dengan cara yang diinginkan,
yakni dengan melakukan tindakan kriminal untuk mewujudkan ‘mimpi’ tersebut
(lihat Merton 1968).
Jadi kesimpulanya prilaku menyimpang atau
tindakan kriminalitas premanisme ini adalah salah satu wujud terjadinya keregangan antara
struktur dan kultur yang membuka ruang bagi anomi
dalam individu dengan artian fenomena premanisme ini bisa dilihat dalam disfungsinya
struktur-kultur yang ada dalam masyarakat yang mengakibatkan terjadinya fungsi
laten dalam salah satu unit atau system-sistem sosial dalam masyarakat
baik itu dalam stuktur yang mencakup lembaga-lembaga dan kultur yang mencakup
nilai dan aturanya.
STRUKTUR
X
KULTUR
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pengertian
Premanisme
Premanisme
berasal dari kata bahasa Belanda vrijman
yang diartikan orang bebas, merdeka dan kata isme yang berarti aliran. Premanisme adalah sebutan pejoratif yang
sering digunakan untuk merujuk kepada kegiatan sekelompok orang yang
mendapatkan penghasilannya terutama dari pemerasan kelompok masyarakat lain.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia edisi ke-2 yang diterbitkan Balai Pustaka (1993) memberi
arti preman dalam level pertama. Kamus ini menaruh “preman” dalam dua entri:
(1) preman dalam arti partikelir, bukan tentara atau sipil, kepunyaan sendiri;
dan (2) preman sebagai sebutan kepada orang jahat (penodong, perampok, dan
lain-lain). Dalam level kedua, yakni sebagai cara kerja, preman sebetulnya bisa
menjadi identitas siapapun. Seseorang atau sekelompok orang bisa diberi label
preman ketika ia melakukan kejahatan (politik, ekonomi, sosial) tanpa beban. Di
sini, preman merupakan sebuah tendensi tindakan amoral yang dijalani tanpa
beban moral. Maka premanisme di sini merupakan tendensi untuk merebut hak orang
lain bahkan hak publik sambil mempertontonkan kegagahan yang menakutkan.
Istilah preman penekanannya adalah pada perilaku seseorang yang membuat resah,
tidak aman dan merugikan lingkungan masyarakat ataupun orang lain .
Istilah
preman menurut Ida Bagus Pujaastawa, berasal dari bahasa
Belanda vrijman yang berarti orang bebas atau tidak memiliki ikatan
pekerjaan dengan pemerintah atau pihak tertentu lainnya. Dalam ranah
sipil, freeman (orang bebas) di sini dalam artian orang yang merasa
tidak terikat dengan sebuah struktur dan sistem sosial tertentu. Pada ranah
militer, freeman (orang bebas) berarti orang yang baru saja selesai
melaksanakan tugas dinas (kemiliteran) atau tidak sedang dalam tugas
(kemiliteran). Dalam sistem militer ala Barat pengertian freeman ini
lebih jelas karena ada pembedaan antara militer dan sipil. Misalnya setiap
anggota militer yang keluar dari baraknya otomatis menjadi warga sipil dan
mengikuti aturan sipil kecuali dia ada tugas dari kesatuannya dan itupun dia
harus menggunakan seragam militer. Sayangnya di Indonesia aturan itu tidak
berlaku, anggota militer (TNI) walaupun tidak dalam tugas dan tidak memakai seragam
militer tidak mau mengikuti aturan sipil (KUHAP). Misalnya anggota militer yang
melakukan perbuatan pidana di luar baraknya (markasnya) tidak dibawa ke
pengadilan sipil (pengadilan negeri atau pengadilan tinggi) tapi dibawa ke
pengadilan militer.
Dalam
perkembangan selanjutnya perilaku premanisme cenderung berkonotasi negatif
karena, dianggap rentan terhadap tindakan kekerasan atau kriminal. Namun
demikian, keberadaan preman tidak dapat disamakan dengan kelompok pelaku tindak
kriminal lainnya seperti pencopet atau penjambret. Preman umumnya diketahui
dengan jelas oleh masyarakat yang ada di sekitar wilayah operasinya, seperti
pusat-pusat perdagangan (pasar), terminal, jalan raya, dan pusat hiburan.[4]
B.
Jeinis-jenis
Premanisme
Menurut
Ketua Presidium Indonesia Police Watch,
Neta S. Pane , setidaknya ada empat model preman yang ada di Indonesia, yaitu:
a) Preman yang tidak terorganisasi.
Mereka bekerja secara sendiri-sendiri, atau berkelompok, namun hanya bersifat
sementara tanpa memiliki ikatan tegas dan jelas.
b) Preman yang memiliki pimpinan dan
mempunyai daerah kekuasaan.
c) Preman terorganisasi,
namun anggotanya yang menyetorkan uang kepada pimpinan.
d) Preman berkelompok, dengan
menggunakan bendera organisasi. Biasanya preman
seperti ini, dibayar untuk mengerjakan pekerjaan tertentu. Berbeda dengan
preman jenis ketiga, karena preman jenis ini biasanya pimpinan lah yang
membayar atau menggaji anak buahnya.
Preman
jenis keempat ini, masuk kategori preman berdasi yang wilayah kerjanya menengah
ke atas, meliputi area politik, birokrasi, dan bisnis gelap dalam skala kelas
atas. Dalam operasinya, tidak sedikit di antara mereka di-backup aparat.
Kerjanya rapih, dan sulit tersentuh hukum, karena hukum dapat mereka beli,
dengan memperalat para aparatnya.
Pendapat
lain berasal dari Azwar Hazan mengatakan, ada empat kategori Preman yang hidup
dan berkembang di masyarakat:
a.
Preman
tingkat bawah.
Biasanya berpenampilan
dekil, bertato dan berambut gondrong. Mereka biasanya melakukan tindakan
kriminal ringan misalnya memalak, memeras dan melakukan ancaman kepada korban.
b.
Preman
tingkat menengah.
Berpenampilan lebih
rapi mempunyai pendidikan yang cukup. Mereka biasanya bekerja dengan suatu
organisasi yang rapi dan secara formal organisasi itu legal. Dalam melaksanakan
pekerjaannya mereka menggunakan cara-cara preman bahkan lebih “kejam”dari
preman tingkat bawah karena mereka merasa “legal”. Misalnya adalah Agency Debt
Collector yang disewa oleh lembaga perbankan untuk menagih hutang nasabah yang
menunggak pembayaran angsuran maupun hutang, dan perusahaan leasing yang
menarik agunan berupa mobil atau motor dengan cara-cara yang tidak manusiawi.
c.
Preman
tingkat atas.
Adalah kelompok
organisasi yang berlindung di balik parpol atau organisasi massa bahkan berlindung
di balik agama tertentu. Mereka “disewa“ untuk membela kepentingan yang
menyewa. Mereka sering melakukan tindak kekerasan yang “dilegalkan”.
d.
Preman
elit.
Adalah oknum aparat
yang menjadi backing perilaku premanisme, mereka biasanya tidak nampak perilakunya
karena mereka adalah aktor intelektual perilaku premanisme.[5]
C.
Ruang
Lingkup Tindakan criminal premanisme
Dalam
melakukan tindakan kriminal biasanya dilakukan di tempat keramaian
di mana banyak orang. Karena semakin banyak kesempatan untuk melakukan tindakan
kriminal. Tempat-tempat yang biasanya terdapat preman antara lain sebagai
berikut :
1.
Pasar
Tradisional
Pasar
tradisional merupakan salah satu tempat perekonomian berjalan, karena di dalam
pasar terdapat penjual dan pembeli yang melakukan transaksi jual beli. Preman
memandang ini sebagai lahan untuk melakukan tindakan kriminalitas karena banyak
orang membawa barang berharga. Ataupun melakukan pungutan liar kepada
lapak-lapak pedagang.
2.
Terminal
Bus
Merupakan
tempat yang banyak orang berdatangan ke terminal bus untuk menuju
tempat tujuan, hal ini digunakan untuk melakukan tindak kriminal
pada para penumpang bus maupun para supir bus.
3.
Stasiun
Kereta Api dan Gerbong Kereta
Stasiun
kereta api merupakan tempat yang sangat rampai pada jam berangkat
dan jam pulang kerja, begitu pula yang terjadi di dalam gerbong kereta api.
Setiap gerbong kereta api pasti akan selalu padat bahkan hingga atap kereta
api. Diantara ratusan penumpang kereta api pasti terselip beberapa preman yang
beraksi di stasiun maupun di dalam gerbong kereta api. Hal ini biasanya
terdapat di kereta api ekonomi.
4.
Pelabuhan
Pelabuhan
merupakan tempat penyeberangan antar pulau. Disini terdapat manusia, bus, dan
truk yang akan menyeberang. Hal ini dilirik untuk melakukan tindakan kriminal,
biasanya melakukan tindak krimanal dengan cara pembiusan atau hipnotis kepada
penumpang kapal, dan melakukan pungutan liat kepada bus dan truk yang akan
memasuki pelabuhan.
5.
Jalan
Raya
Merupakan
tempat umum yang hampir tidak pernah sepi, biasanya pelaku melakukan tindak
krimanal pada persimpangan jalan yang tidak ada pengamanan dari polisi, dimana
mobil terhenti pada lampu lalu lintas. Biasanya hal ini dilakukan pada malam
hari.
Pada
saat ini banyak para pelaku melakukan tindakan kriminal secara berkelompok,
namun ada juga yang masih melakukan tindakan kriminal secara individu. Hal ini
dilakukan untuk mempermudah dalam melakukan tindakan kriminal dan para pelaku
terbagi atas wilayah kekuasaan yang telah terbagi dan terorganisasi. Setiap
wilayah terdapat seorang pemimpin yang mengkoordinasikan para anak buahnya
dalam melakukan tindakan kriminal. Khusus tindakan pungutan liar setiap wilayah
wajib menyetorkan hasilnya kepada pimpinannya yang kemudian disetorkan kepada
oknum. Hal ini dilakukan agar para pelaku tindak kriminal dapat perlindungan
dan wewenang dalam satu wilayah.
D.
Faktor-Faktor
Munculnya Premanisme
Ada
beberapa faktor penyebab munculnya tindakan anarkis ataupun premanisme di
negara ini, antara lain :
1. faktor
mendasar yaitu penerapan ideologi sekulerisme kapitalisme, Sekulerisme
memisahkan agama dari pengaturan kehidupan. Dengan sekulerisme faktor keimanan
dinihilkan. Hilanglah faktor kontrol diri yang paling kuat. Maka perisai diri
untuk tidak berbuat jahat pun menjadi sedemikian tipis bahkan tidak ada.
2. faktor
ekonomi, Sulitnya mencari penghidupan akibat tiadanya lapangan kerja sementara
tuntutan biaya hidup sedemikian tinggi akhirnya mendorong sebagai orang terjun
dalam dunia premanisme. Akibat sistem ekonomi kapitalisme, kekayaan tidak
terdistribusi secara merata dan adil. Kekayaan terkonsentrasi kepada segelintir
orang. Bahkan kekayaan negeri ini banyak lari demi kesejahteraan asing.
Pemerintah pun akhirnya tidak berdaya menciptakan lapangan kerja yang memadai
bagi rakyat karena tidak punya biaya. Di tengah minimnya lapangan kerja, gaya
hidup materialisme, hedonisme dan konsumerisme justru didorong
segencar-gencarnya.
Di
sisi lain, dipertontonkan banyak pegawai negeri, pejabat dan politisi
mendapatkan harta banyak dan bergaya hidup mewah. Bahkan mereka yang korupsi
bisa dengan mudah lolos dari jerat hukum. Kalaupun dihukum, sangat ringan.
Semua itu bisa makin mendorong sebagian orang memilih menjadi preman sebagai
jalan mudah mendapatkan harta.
3. karena
penegakan hukum yang lemah,Aparat tidak bertindak tegas. Aneh jika pergerakan
dan eksistensi kelompok preman yang begitu terasa dan kasat mata tidak
diketahui oleh aparat. Ada anggapan, keberadaan preman justru dipelihara oleh
(oknum) aparat. Kesan melindungi dan melakukan pembiaran itu terlihat ketika
polisi baru bisa bertindak setelah terjadi aksi kekerasan yang meresahkan
banyak orang. Padahal, polisi sudah mencium indikasi bakal ada kekerasan itu
sejak awal. Kesan itu makin kuat dilihat dari penanganan terhadap kelompok
preman yang minimalis bahkan terhadap kelompok preman yang sudah ditangkap
sekalipun. Sering terdengar para preman itu apalagi gembongnya, dengan mudah
lolos begitu saja.
4. sistem hukum
dinegri ini yang tidak bisa memberikan efek jera bagi pelaku tindakan
premanisme ataupun kejahatan. Hukuman yang dijatuhkan terhadap preman atau yang
melakukan tindakan kejahatan yang terlibat bentrokan bahkan pembunuhan begitu
ringan. Hukum dinegri sangat terlihat bisa diperjual belikan, sehingga para
preman yang di ajukan ke pengadilan bisa lolos dari jerat hukuman. Jika pun
mereka dijatuhi hukuman dan penjara, tapi nyatanya mereka masih bisa
mengendalikan bisnis premannya. Didalam penjara mereka mendapat kenyamanan
tertentu bahkan bisa mendapatkan sejumlah anak buah baru.
Dari
situ lah sudah dapat terlihat bahwa sebab merajalelanya premanisme bukan lagi
bersifat individu melainkan sistemik. Sistem yang ada justru menjadi faktor
utama.
E.
Dampak
Tindakan Premanisme
Tindakan kejahatan oleh premanisme tersebut menimbulkan dampak yang meresahakan
masyarakat dan lingkungan sekitar, diantaranya:
a. Meningkatnya kasus kriminalitas.
b. Mengganggu
stabilitas keamanan masyarakat. Premanisme memang sudah
merajalela di berbagai daerah, sehingga munculnya kelompok- kelompok
kriminal atau geng dapat menimbulkan rasa kurang aman dan meresahkan bagi
masyarakat karena adanya gangguan dan ancaman.
c. Dapat
merugikan banyak pihak. Preman yang biasanya menggunakan kekerasan dan
kejahatan dapat merugikan banyak pihak. Contohnya dengan adanya pembunuhan,
pasti keluarga yang ditinggalkan korban akan merasa sedih dan kehilangan atau
melakukan kerusakan pada fasilitas umum jadi banyak pihak yang merasa
dirugikan. Bahkan bagi masyarakat yang merasa trauma karena ulah kejahatan
preman akan selalu merasa resah .
Fenomena
yang seperti ini perlu diatasi dengan melibatkan pihak yang berwajib
agarkeamanan dapat teratasi dari adanya gangguan, ancaman, dan tindak
kejahatan, disamping itu kita sebagai masyarakat harus saling menjaga keamanan
lingkungan agar terhindar dari gejala premanisme.[6]
F.
Premanisme dan Penyimpangan Sosial
Seseorang melakukan tindakan-tindakan
premanisme selain dari factor pribadi juga karena adanya factor social, factor
social inilah yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan pelanggaran hukum
maupun terhadap aturan yang ada, factor social merupakan norma-norma maupun
hukum yang berlaku dimasyarakat, namun seringkali norma-norma tersebut
diabaikan atau dilanggar, sehingga penyimpangan yang terjadi dalam norma-norma
dan hukum di masyarakat ini disebut Penyimpangan Sosial. Menurut James Vander
Zanden, 1979; Perilaku menyimpang atau Deviance Behaviour adalah Perilkau yang
dipandang sejumlah orang sebagai perbuatan tercela dan
diluar batas toleransi, Secara sosiologis, perilaku menyimpang
dapat diartikan sebagai setiap perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma
dan hukum yang ada di dalam masyarakat.
Perilaku seperti ini terjadi karena seseorang
mengabaikan norma atau tidak mematuhi patokan baku dalam masyarakat sehingga
sering dikaitkan dengan istilah-istilah negatif. Dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia, ‘menyimpang’ bermakna tidak menurut jalan yang betul, menyalahi
kebiasaan, aturan, hukum, dan sebagainya serta menyeleweng atau sesat. Menurut
Lemert (1951); Penyimpangan dibagi menjadi dua bentuk;
1.
Penyimpangan
Primer (Primary Deviation) yaitu
Penyimpangan yang dilakukan seseorang akan tetapi si pelaku masih dapat
diterima masyarakat. Ciri penyimpangan ini bersifat temporer atau
sementara,tidak dilakukan secara berulang-ulang dan masih dapat ditolerir oleh
masyarat seperti: menunggak iuran listrik, telepon, BTN, melanggar rambu-rambu
lalu lintas, ngebut di jalanan dsb.
2.
Penyimpangan
Sekunder (secondary deviation) yaitu
Penyimpangan yang berupa perbuatan yang dilakukan seseorang yang secara umum
dikenal sebagai perilaku menyimpang. Pelaku didominasi oleh tindakan menyimpang
tersebut, karena merupakan tindakan pengulangan dari penyimpangan sebelumnya.
Penyimpangan ini tidak bisa ditolerir oleh masyarakat, seperti : preman,
pemabuk, pengguna obat-obatan terlarang, pemerkosa, pelacuran, pembunuh,
perampok, penjudi.
Adapun factor-factor yang menyebabkan
perilaku menyimpang menurut Casare Lombroso adalah;
a.
Biologis
Misalnya orang yang lahir sebagai pencopet atau pembangkang.
Ia membuat penjelasan mengenai “si penjahat yang sejak lahir”. Berdasarkan
ciri-ciri tertentu orang bisa diidentifikasi menjadi penjahat atau tidak.
Ciri-ciri fisik tersebut antara lain: bentuk muka, kedua alis yang menyambung
menjadi satu dan sebagainya.
b.
Psikologis
Menjelaskan sebab terjadinya penyimpangan ada kaitannya dengan
kepribadian retak atau kepribadian yang memiliki kecenderungan untuk melakukan
penyimpangan. Dapat juga karena pengalaman traumatis yang dialami seseorang.
c.
Sosiologis
Menjelaskan
sebab terjadinya perilaku menyimpang ada kaitannya dengan sosialisasi yang
kurang tepat. Individu tidak dapat menyerap norma-norma kultural budayanya atau
individu yang menyimpang harus belajar bagaimana melakukan penyimpangan.
Ada dua Faktor Penyebab timbunya
Penyimpangan yaitu factor dari dalam (Intrinsik) dan factor dari luar
(Ekstrinsik);
1. Faktor
dari dalam (intrinsik)
Setiap orang mempunyai intelegensi yang
berbeda-beda. Perbedaan intelegensi ini berpengaruh dalam daya serap terhadap
norma-norma dan nilai-nilai sosial. Orang yang mempunyai intelegensi tinggi
umumnya tidak kesulitan dalam bergaul, belajar, dan berinteraksi di masyarakat.
Sebaliknya orang yang intelegensinya di bawah normal akan mengalami berbagai
kesulitan dalam belajar maupun menyesuaikan diri di masyarakat.
Namun hal ini seringkali menjadi dilematis, seseorang yang memiliki tingkat
intelegensi yang tinggi dapat melakukan suatu kejahatan yang lebih besar
akibatnya bagi masyarakat, karena tingginya tingkat intelegensi tidak diimbangi
dengan moral yang baik pula, sehingga menimbulkan penyimpangan.
2. Faktor
dari luar (ekstrinsik)
a)
Peran
keluarga
Keluarga sebagai unit terkecil dalam
kehidupan sosial sangat besar peranannya dalam membentuk pertahanan seseorang
terhadap serangan penyakit sosial sejak dini. Dalam sebuah keluarga yang selalu
menerapkan kejujuran dan kedisiplinan menjadi panutan bagi seseorang dalam
berperilaku dalam lingkungannya maupun tempatnya bekerja.
b)
Peran
masyarakat
Pola kehidupan masyarakat tertentu kadang
tanpa disadari oleh para warganya ternyata menyimpang dari nilai dan norma
sosial yang berlaku di masyarakat umum. Itulah yang disebut sebagai
subkebudayaan menyimpang. Misalnya masyarakat yang sebagian besar warganya
hidup dengan menggunakan caa-cara premanisme, maka anak-anak di dalamnya akan
menganggap premanisme sebagai bagian dari kehidupannya. Demikian pula seseorang
yang tumbuh dan berkembang di lingkungan masyarakat penjudi atau peminum
minuman keras, maka akan membentuk sikap dan pola perilaku menyimpang.
c)
Pergaulan
Pola tingkah laku seseorang sering kali
dipengaruhi oleh pergaulan, Apabila teman bergaulnya baik, dia akan menerima
konsep-konsep norma yang bersifat positif. Akan tetapi jika teman bergaulnya
kurang baik, sering kali akan mengikuti konsep-konsep yang bersifat negatif.
Misalnya di suatu instansi sebagian besar pegawainya sudah terbiasa memeras,
tidak tepat waktu dan menerima uang suap sebagai uang pelicin untuk mengurus
surat atau akte tertentu, maka orang yang bekerja ditempat itu akan merasa
bahwa memeras dan menerima suap adalah suatu kewajaran, demikian pula halnya
dengan lingkungan preman, mereka berpikir bahwa perbuatannya menunjukan
eksistensi dirinya, mengambil paksa milik orang lain, mempunyai wilayah
kekuasaan yang diakui, dsb.
d)
Media
massa
Berbagai tayangan di televisi tentang gaya
hidup bermewah-mewahan berfoya-foya, menggunakan narkoba, seks bebas, dsb,
dapat mempengaruhi perkembangan perilaku individu.
Dengan demikian dalam penanganan terhadap
premanisme juga membutuhkan peran serta dari stake holder yang terlibat dalam
hal ini Pemerintah sebagai penentu kebijakan khususnya dalam mengeliminir
hal-hal yang menjadi embrio serta pendorong kelahiran aksi premanisme seperti;
Kemiskinan, kelangkaan kesempatan kerja, marginalisasi, dan kekuasaan yang
cenderung korup adalah habitat yang subur bagi perkembangan premanisme di tanah
air. Karena itu, agar dari waktu ke waktu tidak lahir preman-preman baru yang
makin canggih, pemerintah wajib mengimbangi langkah polisi dengan aksi dan
pendekatan sosial agar hal-hal yang menyuburkan tumbuhnya preman tidak terus
berkembang. Ketika orang frustrasi karena tak mampu menghidupi keluarganya
serta ketika pemerintah tidak lagi mampu menciptakan lapangan kerja yang
memadai dan layak untuk tempat bergantung hidup kaum migran yang mengadu nasib
mencari pekerjaan di kota, jangan kaget jika di saat yang bersaman lahir sejumlah
aktivitas di sektor informal yang terkategori ilegal.
Selain itu perilaku premanisme dan kejahatan
jalanan merupakan problematika sosial yang berawal dari sikap mental masyarakat
yang kurang siap menerima pekerjaan yang dianggap kurang bergengsi. dan
penanganannya tidak cukup melalui proses hukum, tetapi harus melibatkan
institusi yang berfungsi dalam pembinaan mental.Masyarakat juga tidak dapat
mengambinghitamkan tingkat kesejahteraan atau peluang kerja yang dianggap sulit
didapatkan sebagai faktor penyebab munculnya aksi premanisme dan kejahatan
jalanan. Sebenarnya peluang kerja itu cukup banyak, tetapi kurang diminati
karena dianggap kurang terhormat. Sehingga dalam hal iniPolri harus
melibatkan institusi yang berwenang dalam pembinaan mental, seperti Dinas
sosial, agar pelaku aksi premanisme dan kejahatan jalanan itu bersedia
melakukan pekerjaan apa pun asalkan halal. Dinas sosial juga perlu
menggandeng pihak lain untuk menyalurkan minat dan bakat yang dimiliki pelaku
aksi premanisme dan kejahatan jalanan tersebut. Karena perilaku premanisme dan
kejahatan jalanan dapat dianggap sebagai penyakit masyarakat yang berasal dari
belum tertatanya pola pikir dan kesiapan mental dalam menghadapi problematika
hidup.[7]
BAB
III
STUDI
KASUS
A. Kasus Premanisme di Bandung
BANDUNG,
KOMPAS. com - Sebanyak 41 orang preman terjaring dalam razia yang
digelar jajaran Polrestabes Bandung, Senin (21/10/2013). Razia tersebut
berlangsung sejak pagi hingga siang di beberapa lokasi
seperti terminal Antar Kota Antar Provinsi Cicaheum, Terminal
Leuwipanjang, Pasar Kosambi serta Pasar Baru.
"Sampai
saat ini yang telah ada 41 preman," kata Kapala Baguian Operasi
Polrestabes Bandung, AKBP Diki Budiman saat ditemui di markas Polrestabes
Bandung, Senin (21/10/2013).
Setelah
dijaring, kata Dicky, preman-preman tersebut akan didata secara rinci untuk
dipilah-pilah antara preman yang kerap melakukan tindak kriminal dan yang
tidak. Preman yang terindikasi melakukan tindakan pidana, akan diproses sesuai
kesalahannya. "Kita lihat hasil evaluasi besok untuk memastikan
apakah target operasi kita sudah terjaring atau belum. Kalau belum, nanti kita
gelar operasi lagi," imbuhnya.
Sementara
itu, pihak kepolisian juga sudah mendata sejumlah daerah yang diduga menjadi
titik rawan aksi kriminal di Kota Bandung yang kerap menjadi tempat operasi
para preman. "Beberapa titik rawan preman yang ada di Kota Bandung di
antaranya adalah Terminal Cicaheum, Terminal Leuwipanjang, Pasar Induk
Gedebage, dan sepanjang Jalan Soekarno-Hatta," jelasnya. Dicky menjelaskan,
ada beberapa modus premanisme yang kerap meresahkan masyarakat. Di antaranya,
kata Dicky, menjual airminum kemasan secara paksa hingga memaksa orang
untuk naik ke angkot tertentu.
Tak
hanya penumpang angkot, sopir angkot dan pemilik kios juga kerap menjadi korban
pemalakan para preman. "Kita imbau kepada masyarakat agar melaporkan ke
polisi. Yang jadi masalah, kadang masyarakat enggan untuk melaporkan tindakan
premanisme yang dialaminya," bebernya.[8]
B.
Kasus Premanisme di Jakarta
Jakarta -
Bentrok antara dua kelompok di Cengkareng Barat terkait pengambil
alihan kekuasaan tanah. Kejadian tersebut disebabkan perebutan kekuasaan di
lahan tanah PT. Sabar Ganda yang beralamat di Jl Cengkareng Kamal, Rt 02/07,
Cengkareng Barat, Jakarta Barat.
Menurut
Kabid Humas Polda Metro jaya, Kombes Rikwanto kejadian bermula ketika sekitar
100 orang kelompok John Kei mendatangi PT Sabar Ganda, Rabu (29/8). Pada saat
itu PT Sabar Ganda tengah dijaga oleh 10 orang dari kelompok Hercules.
"Pada
saat itu kelompok Hercules yang keluar lokasi dan terjadi tawuran antara kedua
belah pihak, namun hal tersebut langsung dihalau anggota Polsek Cengkareng.
Kelompok John Kei berhasil menguasai lokasi sementara kelompok Hercules yang
terusir menghimpun kekuatan dari luar pagar," ujar Rikwanto dalam pesan
singkat, Rabu (29/8/2012).[9]
C.
Solusi Masalah Penyimpangan Sosial Premanisme dalam Teori
Struktural Fungsional Robert K. Merton.
Seseorang melakukan tindakan-tindakan
premanisme selain dari factor pribadi juga karena adanya factor social, factor
social inilah yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan pelanggaran hukum
maupun terhadap aturan yang ada, factor social merupakan norma-norma maupun
hukum yang berlaku dimasyarakat, namun seringkali norma-norma tersebut
diabaikan atau dilanggar, sehingga penyimpangan yang terjadi dalam norma-norma
dan hukum di masyarakat ini disebut Penyimpangan Sosial.Perilaku menyimpang
atau Deviance Behaviour adalah Perilku yang dipandang sejumlah orang sebagai
perbuatan tercela dan diluar batas toleransi, Secara sosiologis,
perilaku menyimpang dapat diartikan sebagai setiap perilaku yang tidak sesuai
dengan norma-norma dan hukum yang ada di dalam masyarakat.
Tokoh sosiologi modern
aliran fungsional structural seperti
Robert K.Merton dalam teori structural fungsionalnya yang banyak membahas
tentang tindakan penyimpangan individu atau dalam teorinya disebut juga sebagai
anomie. salah satu sumbangan merton yang paling terkenal terhadap struktural
fungsional dan terhadap sosiologi adalah analisisnya mengenai hubungan antara
kultur, struktur, dan anomi. Kultur adalah
seperangkat nilai normatif yang ter organisir, struktur sosial adalah seperangkat hubungan sosial yang ter
organisir, sementara anomie ( keadaan
yang kacau, tanpa peraturan) ,adalah konsekuensi atau titk tengah dari kultur
dan struktur apabila keduanya terputus.
Bagi Merton, munculnya prilaku menyimpang
yang dilakukan oleh individu adalah ketidakmampuan individu tersebut untuk
bertindak sesuai dengan nilai normatif yang ada di masyarakat. Secara umum
dapat dikatakan bahwa perilaku menyimpang adalah bentuk anomie dalam masyarakat. Anomie
terjadi dalam masyarakat ketika ada keterputusan antara hubungan norma kultural
dan tujuan dengan kapasitas terstruktur secara sosial dari anggota kelompok
untuk bertindak sesuai dengan norma kultural (lihat Ritzer dan Goodman 2007).
Secara umum Merton menghubungkan antara
kultur, struktur dan anomie. Merton juga membedakan antara fungsi manifes dan
fungsi laten. Fungsi manifest didefinisikan sebagai seluruh konsekuensi
obkektif yang berpengaruh pada pengaturan atau adaptasi dari suatu sistem yang
diinginkan dan diakui oleh seluruh bagian sistem itu, sedangkan fungsi manifest
adalah kebalikannya, yakni konsekuensi objektif yang berpengaruh pada penaturan
dan adaptasi dari satu sistem yang tidak diinginkan dan tidak akui (Merton,
1968:105) Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa perilaku menyimpang yang
terjadi di di masyarakat khusunya fenomen premanisme merupakan adanya
keregangan antara norma-norma yang berlaku di masyarakat dengan cara-cara dan
tujuan-tujuan yang dilakukan oleh individu.
Analisis
solusi dalam teori tersebut yang ditawarkan merton dalam meminimalisir atau
membendung terjadinya tidakan menyimpang kriminalitas individu dengan cara
memperkuat atau menjaga (latency)
fungsi-fungsi structural secara manifest dari structural terkecil hingga
terbesar seperti dari fungsi keluarga sampai pemerintahan harus menjadi sebuah
system yang berfungsi control social untuk mencegah terjadinya anomie.
Walaupun
memang terjadi sebuah Anomi dalam
masyarakat system kultur dan struktur harus lah segara menjadi control social
bagi para anggotanya atau masyarakat demi membenarkan kembali prilaku
menyimpang masyarakat agar tetap dalam control sebuah struktur-kultur.
Struktur
yang dimaksud bisa berupa lembaga-lembaga social masyarakat seperti
keluarga,pemerintahan desa bahkan kantor polisi pun harus menjadi control bagi
individu yang menyimpang atau premanisme tersebut ,dimana struktur struktur
social haruslah berfungsi secara manifest untuk meminimalisir prilaku
penyimpangan masyarakat denagn didikan kultur di dalamya.
Selain
struktur pemeliharaan kultur atau
nilai normative juga menjadi sebuah solusi yang ditawarkan merton dimana kultur
menjadi pengikat atau bahkan fanismen bagi individu yang melakukan tindakan
penyimpangan dimasyarakat seperti kasus fenomena premanisme norma-norma social
maupun hukum adalah sebuah solusi untuk meminimalisir atau menimbulkan efek
jera terhadap anomi tersebut.
Setidaknya
ada beberapa contoh struktur-kultur dalam kehidupan masyarakat yang bisa
menjadi solusi masalah social premanisme ini seperti :
1. Mengenakan
sanksi hukum yang tegas dan adil kepada para pelaku kriminalitas tanpa pandang
bulu atau derajat. Hal ini akan sangat ampuh untuk memberikan efek jera kepada
para pelaku agar tidak mengulangi kembali tindakannya
2. Mengaktifkan
peran serta orang tua dan lembaga pendidikan dalam mendidik anak. Dikarenakan
hal ini merupakan dari pencegahan sejak dini untuk mencegah terjadinya tindakan
kriminal dan mencegah menjadi pelaku tindakan kriminal.
3. Selektif
terhadap budaya asing yang masuk agar tidak merusak nilai budaya bangsa
sendiri. Karena setiap budaya luar belum tentu baik untuk budaya kita, misalnya
berbusana mini, berprilaku seperti anak punk, dan lain sebagainya.
4. Menjaga
kelestarian dan kelangsungan nilai norma dalam masyarakat dimulai sejak dini
melalui pendidikan multi kultural , seperti sekolah , pengajian dan organisasi
masyarakat.
5. Melakukan
pelatihan atau kursus keahlian bagi para pelaku tindak kriminal atau
penganguran agar memiliki keterampilan yang dapat dilakukan untuk mencari
lapangan pekerjaan atau melakukan wirausaha yang dapat membuka lapangan kerja
baru.
BAB
V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Istilah
preman menurut Ida Bagus Pujaastawa, berasal dari bahasa
Belanda vrijman yang berarti orang bebas atau tidak memiliki ikatan
pekerjaan dengan pemerintah atau pihak tertentu lainnya. Dalam ranah
sipil, freeman (orang bebas) di sini dalam artian orang yang merasa tidak
terikat dengan sebuah struktur dan sistem sosial tertentu. Pada ranah
militer, freeman (orang bebas) berarti orang yang baru saja selesai
melaksanakan tugas dinas (kemiliteran) atau tidak sedang dalam tugas
(kemiliteran). Dalam sistem militer ala Barat pengertian freeman ini
lebih jelas karena ada pembedaan antara militer dan sipil. Misalnya setiap
anggota militer yang keluar dari baraknya otomatis menjadi warga sipil dan
mengikuti aturan sipil kecuali dia ada tugas dari kesatuannya dan itupun dia
harus menggunakan seragam militer. Sayangnya di Indonesia aturan itu tidak
berlaku, anggota militer (TNI) walaupun tidak dalam tugas dan tidak memakai
seragam militer tidak mau mengikuti aturan sipil (KUHAP). Misalnya anggota
militer yang melakukan perbuatan pidana di luar baraknya (markasnya) tidak
dibawa ke pengadilan sipil (pengadilan negeri atau pengadilan tinggi) tapi
dibawa ke pengadilan militer.
Dalam
perkembangan selanjutnya perilaku premanisme cenderung berkonotasi negatif
karena, dianggap rentan terhadap tindakan kekerasan atau kriminal. Namun
demikian, keberadaan preman tidak dapat disamakan dengan kelompok pelaku tindak
kriminal lainnya seperti pencopet atau penjambret. Preman umumnya diketahui
dengan jelas oleh masyarakat yang ada di sekitar wilayah operasinya, seperti
pusat-pusat perdagangan (pasar), terminal, jalan raya, dan pusat hiburan.
B. Saran
Peran
structural dan lembaga-lembaga masyarakat dalam menangani maslah-masalah Premanisme
tidak dapat dipandang hanya seperti lembaga tugas Kepolisian saja, namun yang
lebih penting disini adalah bagaimana cara mengeliminir embrio-embrio munculnya
premanisme ini, meskipun banyak contoh di Negara-negara maju yang tingkat
kesejahteraannya tinggi juga masih ada kelompok-kelompok premanisme ini bahkan
semakin kuat, hal ini tidak lepas dari penyimpangan social, pengaruh
globalisasi dan budaya Hedonisme, sehingga upaya-upaya Polri dalam menangani
premanisme ini dengan melakukan operasi-operasi kepolisian terpadu bersama
instansi-instansi terkait dapat dipilih sebagai salah satu jalan alternative
dalam menekan premanisme, sehingga tidak hanya sekedar melakukan
operasi dan kemudian dilepas lagi ditengah-tengah masyarakat, melainkan perlu
adanya pembinaan mental, spiritual oleh lembaga atau dinas sosial serta dengan
menyediakan lapangan pekerjaan agar tidak kembali terjerumus dalam premanisme,
kecuali dalam hal tindakan premanisme yang mengarah pada tindak pidana korupsi
perlu adanya tindakan tegas dan hukuman yang berat bagi para pelaku agar
menimbulkan efek jera.
Peran
serta anggota masyarakat juga tidak dapat diabaikan dalam membantu mencegah
timulnya praktek-praktek premanisme, dengan melakukan control social tentunya,
masyarakat dapat berperan aktif sebagai penjaga nilai-nilai norma yang berlaku
di masyarakat, agar anggota masyarakatnya tidak terjerumus dalam kegiatan
premanisme, selain itu peran keluarga juga mempunyai peran sentral, karena
keluarga sebagai satuan terkecil dalam masyarakat, dan dari keluarga
nilai-nilai social kemasyarakatan itu dibangun.
Daftar
Pustaka
Ahmadi,Abu. Ilmu Sosial Dasar. 2009. Jakarta
: Rineka Cipta.
Anwar, Yesmil dan Adang, Kriminologi, 2010.bandung : Refika Aditama.
Atmasasmita, Romli. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, 2006. Bandung : PT Eresco.
Dirdjosisworo, Soedjono. Penanggulangan Kejahatan, cetakan
Ketiga. 1983. Bandung : Raja Grafindo Persada.
Graham
C.Kinloch. Perkembangan dan paradigma
utama teori sosiologi. 2009, CV
Pustaka Setia : Bandung
Ninik Widiyanti-Yulus Waskita, Kejahatan Dalam Masyarakat dan Pencegahannya,1987. Jakarta : Bina
Aksara.
Sumber
Lain :
http://www.jualanbuku.com/2008/11/26/memberantas-akar-premanisme-di- indoneshttp://id.wikipedia.org/wiki/Premanisme
Di unggah Pada tanggal 22 februari 2014 , 14.20.
http://news.detik.com/read/2012/08/30/034157/2002703/10/2/kronologi- bentrok-berdarah-kelompok-john-kei-vs-hercules-di-cengkareng.di
unggah pada tanggal 26 Februari
2014 jam 20.00
http://regional.kompas.com/read/2013/10/21/1804100/Preman.Pasar.dan.Ter minal.di.Bandung.Terjaring.Razia.
Di unggah pada tanggal 24 februari
2014 jam 19.30
[2]Atmasasmita, Romli. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, 2006. Bandung : PT Eresco. H. 88
[4]Dirdjosisworo,
Soedjono. Penanggulangan Kejahatan, cetakan Ketiga. 1983. Bandung: Raja Grafindo Persada h. 87.
[6]http://www.jualanbuku.com/2008/11/26/memberantas-akar-premanisme-di
indoneshttp://id.wikipedia.org/wiki/Premanisme. Di akses pada tanggal 22 februari 2014 jam
14.40
[8]http://regional.kompas.com/read/2013/10/21/1804100/Preman.Pasar.dan.Terminal.di.Bandung.Terjaring.Razia. Di unggah pada tanggal 24 februari 2014 jam 19.30
[9]http://news.detik.com/read/2012/08/30/034157/2002703/10/2/kronologi-bentrok-berdarah-kelompok-john-kei-vs-hercules-di-cengkareng.
di unggah pada tanggal 26 Februari 2014 jam 20.00
No comments:
Post a Comment